“I don’t cry because we’ve been separated
by distance, and for a matter of years.
Why? Because for as long as we share the
same sky and breathe the same air, we’re
still together.”
19 Agustus 2016 - Cahaya senja yang perlahan-lahan
menghilang disela-sela tirai jendela sore itu menemani saya hingga sang
rembulan menampakkan cahaya keemasannya. Hari itu, saya sengaja pulang lebih
larut, karena hendak menjemput kedatangan seseorang yang selama ini terpisah
jarak 2.842 kilometer jauhnya. Malam itu saya berjalan menyusuri jalanan ibukota,
dan berhenti di pertemuan jalan tempat biasa saya menunggu bus bandara. Pembangunan
jalan yang mengharuskan bus melewati rute lain memaksa saya untuk melanjutkan
perjalanan untuk menyusuri pinggiran jalan dan menunggu didepan pintu masuk tol
tujuan bandara. Bus yang ditunggu tak kunjung datang dan semesta mulai
menumpahkan bulir-bulir air dari langit. Aku pun berlari mencari menuju tempat
untuk berteduh; sebuah shelter kecil menjagaku dari derasnya hujan malam itu. Hampir
60 menit lamanya aku berdiri disana, berharap-harap cemas. Baju dan sepatuku sudah
basah diguyur hujan. Akhirnya bus yang ditunggu pun datang. Dengan langkah sigap,
aku berlari kecil menghampiri bus yang akan membawaku bertemu dengannya. Dingin
yang menusuk tulang malam itu mencair seraya aku melihat sosok yang kutunggu
selama sebulan lamanya kembali dari perantauan. Ya, inilah pilihan hidup yang kami
jalani dalam kurun waktu dua tahun ini. Long Distance Marriage (LDM) bukanlah hal
baru di institusi kami. Mengorbankan waktu bersama demi pengabdian kepada Indonesia.
Bersyukur bersyukur, dan bersyukur, bagi pasangan yang bisa tinggal dalam satu
atap, yang dapat berkumpul bersama keluarganya yang dicinta. Lain kata dengan
pasangan yang dipisahkan oleh jarak. Tak dapat disangkal bahwa mereka membutuhkan
usaha lebih agar dapat berkumpul dengan orang-orang tersayang. Ada yang kembali
setiap akhir pekan, setiap bulan, bahkan beberapa bulan sekali. Dalam hal ini,
kami selalu berusaha bertemu setidaknya dua minggu sekali.
Kami sendiri, harus menyisihkan setidaknya 4
juta rupiah untuk membeli tiket dalam sebulan. Saya juga memiliki beberapa
kerabat yang menjalani LDM. Salah satunya adalah pasangan muda yang telah tiga
tahun menikah, namun telah menjalani 5 tahun hubungan jarak jauh. Kawan saya
selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarga di setiap akhir
pekan. Perjalanan yang ia lalui memakan waktu 7 jam, berarti ia hanya memiliki
family time kurang dari 2 hari dalam seminggu. Jika setiap perjalanan pulang ia
menyisihkan uang lima ratus ribu rupiah untuk membeli tiket kereta, maka
setidaknya ia harus menyisihkan 2 juta rupiah setiap bulan nya. “Kepercayaan
merupakan kunci menjalani LDM”, ungkap pasangan muda ini.
Hal tersebut juga dialami oleh kawan saya yang
lain. Dapat saya katakan bahwa ia adalah seorang ibu yang tangguh lagi mandiri.
Ia telah menjalani LDM selama 11 tahun, dan sebelumnya menjalani LDR selama 9
tahun. Jika dihitung-hitung, ia telah menjalani hubungan jarak jauh selama 20
tahun. Tuntutan pekerjaan pasangan yang mengharuskan berpindah-pindah kota
serta kebijakan institusi yang cukup rumit membuat ia mengurungkan niat untuk
berkumpul dalam satu atap. Itulah keadaan yang mereka pilih. LDM mengharuskan
ia menjadi wanita mandiri dalam mengurus ketiga buah hatinya. Ia juga sempat
mengenyam LDM beda negara dan benua, ketika ia harus melanjutkan studinya di
Skotlandia. Ketidakberdayaan kala itu beberapa kali menerpa dirinya. Saat dirinya
sedang mengandung dan harus segera dilarikan ke Rumah Sakit atau saat ia
mendapat kabar bahwa buah hati nya mengalami keracunan makanan, ia hanya dapat
meminta bantuan kepada para rekan maupun tetangga terdekat. Disitulah ia merasa
pentingnya menjaga hubungan baik dengan teman dan tetangga. Dua dekade
menjalani hubungan jarak jauh, ia mengakui bahwa pilihan hidup ini memang berat
untuk dijalani.
LDM hanya untuk wanita dengan jiwa yang
mandiri dan tangguh. Perempuan haruslah percaya diri; percaya bahwa diri kita
berharga. Menjaga perasaan pasangan dan berupaya untuk lebih mendekatkan diri
kepada sang Pencipta agar terhindar dari godaan yang kapan saja bisa datang
menerpa. Kemajuan teknologi lah yang sampai saat ini membantu dirinya untuk
berkomunikasi dengan pasangan dan anak-anaknya. Dengan adanya aplikasi seperti
LINE, SKYPE dan Whatsapp yang menawarkan free video call, pelaku LDM lebih
mudah untuk berinteraksi dengan melakukan tatap muka.
Momen terberat saat meninggalkan kedua buah
hatinya bersama dua orang ART di bekasi, sedangkan ia harus sekolah di
Skotlandia, dan anak-anak masih belum memungkinkan untuk dibawa suami ke Semarang.
Sehingga mau tidak mau, dengan berbekal ridho Tuhan, ia mempercayakan kedua
anaknya kepada kedua ART. “Walaupun waktu itu aku jauh di Skotlandia tapi ga
pernah lupa video call-an sama mereka(red: anak-anak). Ngobrol macem-macem
mulai dari nanyain ngapain aja hari ini sampai makan dengan apa”, pukas Ibu
yang sekarang sudah dikaruniai tiga anak ini. Ia juga mengakui bahwa LDM harus dilandasi
dengan komitmen, kepercayaan dan komunikasi. Tanpa adanya salah satu dari
ketiga hal tersebut, LDM akan sulit dijalani. “LDM bukan sebuah pilihan hidup
yang mudah. Kalau bisa memilih ya pengennya memiliki keluarga yang berkumpul
dalam satu atap. Tapi, dengan adanya LDM, kita menjadi wanita yang mandiri.
Semua printilan yang biasa dikerjakan suami dapat kita kerjakan. Dalam LDM juga
penting menjalin hubungan baik dengan orang-orang terdekat”, imbuhnya sembari
menutup perbincangan sore itu.