Sir Alex Ferguson, one of the most prestigious and honored soccer managers of the world who also has made a habit of identifying and nurture young talents. He helped develop the careers of players like Beckham and Christiano Ronaldo.
This past summer Ferguson put his eye on a young Mexican footballer known simply as 'Chicharito' ("Little Green Pea"), he is Javier Hernandez, third generation soccer player from Guadalajara, Mexico, player for the beloved "Chivas" or goats (the only team in Mexico that has never had a foreign born player). Hernandez will be the first Mexican to play for Manchester United.
Over the past year, this Chicharito Hernandez has been unstoppable. He has played great soccer and seemed like a player too good for the Mexican League, he scored 7 goals in 4 games to start the season and was called up for the Mexican National Team. It took him 3 games with Mexico and 4 goals to be called up for the squad in South Africa, Where he Scored 2 Goals; The first against France, and the second against Argentina. It seems like when 'Chicharito' puts on a Mexican national team jersey, a goal is guaranteed.
Hernandez's parents and sister are also moving to England to help provide a support structure. He'll also likely benefit from the nurturing approach of United coach Sir Alex Ferguson, who is known to protect his young stars from some of the media pressure and glare associated with the Premier League.
Javier Hernandez is fantastic with both legs; he can play alone as center forward or move to either wing. He has a great jump for headers and is very fast for counter attacks. He has the ability to take a shot in a very limited space or make the perfect pass for a teammate to score the goal.
At 5ft 9inches, Chicharito is not only lightening fast and has great control on and off the ball. He was the fastest player in the 2010 FIFA World Cup, reaching a top speed of 32.5 km/h.
However, even with all these amazing attributes, what makes him great is his passion for the game. Chicharito Hernandez enjoys scoring goals. You see the happiness that being on the field brings him and he gives 100% every time he is playing the game. When you see him play and score, it brings back memories of when you played as a kid with your friends.
Biaxident
Kamis, 03 November 2016
Selasa, 27 September 2016
Long Distance Marriage
“I don’t cry because we’ve been separated
by distance, and for a matter of years.
Why? Because for as long as we share the
same sky and breathe the same air, we’re
still together.”
19 Agustus 2016 - Cahaya senja yang perlahan-lahan
menghilang disela-sela tirai jendela sore itu menemani saya hingga sang
rembulan menampakkan cahaya keemasannya. Hari itu, saya sengaja pulang lebih
larut, karena hendak menjemput kedatangan seseorang yang selama ini terpisah
jarak 2.842 kilometer jauhnya. Malam itu saya berjalan menyusuri jalanan ibukota,
dan berhenti di pertemuan jalan tempat biasa saya menunggu bus bandara. Pembangunan
jalan yang mengharuskan bus melewati rute lain memaksa saya untuk melanjutkan
perjalanan untuk menyusuri pinggiran jalan dan menunggu didepan pintu masuk tol
tujuan bandara. Bus yang ditunggu tak kunjung datang dan semesta mulai
menumpahkan bulir-bulir air dari langit. Aku pun berlari mencari menuju tempat
untuk berteduh; sebuah shelter kecil menjagaku dari derasnya hujan malam itu. Hampir
60 menit lamanya aku berdiri disana, berharap-harap cemas. Baju dan sepatuku sudah
basah diguyur hujan. Akhirnya bus yang ditunggu pun datang. Dengan langkah sigap,
aku berlari kecil menghampiri bus yang akan membawaku bertemu dengannya. Dingin
yang menusuk tulang malam itu mencair seraya aku melihat sosok yang kutunggu
selama sebulan lamanya kembali dari perantauan. Ya, inilah pilihan hidup yang kami
jalani dalam kurun waktu dua tahun ini. Long Distance Marriage (LDM) bukanlah hal
baru di institusi kami. Mengorbankan waktu bersama demi pengabdian kepada Indonesia.
Bersyukur bersyukur, dan bersyukur, bagi pasangan yang bisa tinggal dalam satu
atap, yang dapat berkumpul bersama keluarganya yang dicinta. Lain kata dengan
pasangan yang dipisahkan oleh jarak. Tak dapat disangkal bahwa mereka membutuhkan
usaha lebih agar dapat berkumpul dengan orang-orang tersayang. Ada yang kembali
setiap akhir pekan, setiap bulan, bahkan beberapa bulan sekali. Dalam hal ini,
kami selalu berusaha bertemu setidaknya dua minggu sekali.
Kami sendiri, harus menyisihkan setidaknya 4
juta rupiah untuk membeli tiket dalam sebulan. Saya juga memiliki beberapa
kerabat yang menjalani LDM. Salah satunya adalah pasangan muda yang telah tiga
tahun menikah, namun telah menjalani 5 tahun hubungan jarak jauh. Kawan saya
selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarga di setiap akhir
pekan. Perjalanan yang ia lalui memakan waktu 7 jam, berarti ia hanya memiliki
family time kurang dari 2 hari dalam seminggu. Jika setiap perjalanan pulang ia
menyisihkan uang lima ratus ribu rupiah untuk membeli tiket kereta, maka
setidaknya ia harus menyisihkan 2 juta rupiah setiap bulan nya. “Kepercayaan
merupakan kunci menjalani LDM”, ungkap pasangan muda ini.
Hal tersebut juga dialami oleh kawan saya yang
lain. Dapat saya katakan bahwa ia adalah seorang ibu yang tangguh lagi mandiri.
Ia telah menjalani LDM selama 11 tahun, dan sebelumnya menjalani LDR selama 9
tahun. Jika dihitung-hitung, ia telah menjalani hubungan jarak jauh selama 20
tahun. Tuntutan pekerjaan pasangan yang mengharuskan berpindah-pindah kota
serta kebijakan institusi yang cukup rumit membuat ia mengurungkan niat untuk
berkumpul dalam satu atap. Itulah keadaan yang mereka pilih. LDM mengharuskan
ia menjadi wanita mandiri dalam mengurus ketiga buah hatinya. Ia juga sempat
mengenyam LDM beda negara dan benua, ketika ia harus melanjutkan studinya di
Skotlandia. Ketidakberdayaan kala itu beberapa kali menerpa dirinya. Saat dirinya
sedang mengandung dan harus segera dilarikan ke Rumah Sakit atau saat ia
mendapat kabar bahwa buah hati nya mengalami keracunan makanan, ia hanya dapat
meminta bantuan kepada para rekan maupun tetangga terdekat. Disitulah ia merasa
pentingnya menjaga hubungan baik dengan teman dan tetangga. Dua dekade
menjalani hubungan jarak jauh, ia mengakui bahwa pilihan hidup ini memang berat
untuk dijalani.
LDM hanya untuk wanita dengan jiwa yang
mandiri dan tangguh. Perempuan haruslah percaya diri; percaya bahwa diri kita
berharga. Menjaga perasaan pasangan dan berupaya untuk lebih mendekatkan diri
kepada sang Pencipta agar terhindar dari godaan yang kapan saja bisa datang
menerpa. Kemajuan teknologi lah yang sampai saat ini membantu dirinya untuk
berkomunikasi dengan pasangan dan anak-anaknya. Dengan adanya aplikasi seperti
LINE, SKYPE dan Whatsapp yang menawarkan free video call, pelaku LDM lebih
mudah untuk berinteraksi dengan melakukan tatap muka.
Momen terberat saat meninggalkan kedua buah
hatinya bersama dua orang ART di bekasi, sedangkan ia harus sekolah di
Skotlandia, dan anak-anak masih belum memungkinkan untuk dibawa suami ke Semarang.
Sehingga mau tidak mau, dengan berbekal ridho Tuhan, ia mempercayakan kedua
anaknya kepada kedua ART. “Walaupun waktu itu aku jauh di Skotlandia tapi ga
pernah lupa video call-an sama mereka(red: anak-anak). Ngobrol macem-macem
mulai dari nanyain ngapain aja hari ini sampai makan dengan apa”, pukas Ibu
yang sekarang sudah dikaruniai tiga anak ini. Ia juga mengakui bahwa LDM harus dilandasi
dengan komitmen, kepercayaan dan komunikasi. Tanpa adanya salah satu dari
ketiga hal tersebut, LDM akan sulit dijalani. “LDM bukan sebuah pilihan hidup
yang mudah. Kalau bisa memilih ya pengennya memiliki keluarga yang berkumpul
dalam satu atap. Tapi, dengan adanya LDM, kita menjadi wanita yang mandiri.
Semua printilan yang biasa dikerjakan suami dapat kita kerjakan. Dalam LDM juga
penting menjalin hubungan baik dengan orang-orang terdekat”, imbuhnya sembari
menutup perbincangan sore itu.
Kamis, 22 September 2016
Kisah Para Pria Ganteng yang Dibayar untuk Membuat Orang Menangis
Profesi tak lazim hadir di Jepang. Sejumlah pria dengan tampilan fisik menarik dibayar untuk membuat orang menangis dan kemudian menghapus air mata mereka.
Seperti dilansir Independent, Jumat (26/8/2016) konsep ini disebut dengan "rui-katsu" atau berburu air mata. Sementara para pria yang bertugas membuat orang menangis lalu menyeka air mata mereka disebut sebagai "ikemeso danshi".
Adalah sosok Hiroki Terai yang menggagas konsep unik tersebut. Pria yang berprofesi sebagai pengusaha ini bertekad membantu warga Jepang mengekspresikan emosi mereka.
"Saya selalu tertarik dengan kisah-kisah tersembunyi yang dimiliki manusia," ujar Hiroki seperti dikutip dari BBC.
Ia menjelaskan bisnisnya terinspirasi dari peristiwa yang dialaminya ketika berusia 16 tahun. Saat itu Hiroki tidak memiliki teman di sekolah dan menyantap bekal makan siangnya di sebuah bilik toilet, seorang diri.
"Aku mulai merasa mengetahui lebih jauh tentang emosi orang-orang yang sebenarnya. Yang terlihat mereka tersenyum, tapi itu tidak selalu menggambarkan apa yang mereka rasakan," ujar pria berkacamata itu.
Lantas, proyek pertamanya pun dimulai. Ia melaksanakan upacara perceraian bagi pasangan yang mengalami kegagalan pernikahan.
"Puncak dari upacara ini adalah menghancurkan cincin pernikahan dengan palu," ungkap pria itu.
Pasangan yang mengalami kegagalan rumah tangga mengatakan, menangis adalah momen yang paling ampuh. Dan berangkat dari pernyataan itu, Hiroki pun mendirikan "bisnis menangis" pada 2013.
Kala itu ia mengawalinya dengan mengumpulkan orang di Tokyo. "Orang-orang datang dan menangis bersama. Mereka mengatakan merasa lebih baik setelah menangis. Satu-satunya masalah adalah pria yang menangis dianggap cengeng atau pengecut," kata Hiroki.
Ia pun menghadirkan solusi, yakni dengan mempekerjakan para pria tampan sebagai "ikemeso danshi". Hiroki ingin orang-orang terbiasa melihat laki-laki yang menangis.
Sebuah kabar yang beredar menyebutkan bahwa umumnya warga Jepang tidak cukup sering menangis. Ada yang menduga ini stereotipe. Namun seorang komedian yang ikut program "rui-katsu", Terumi ternyata mengakui hal tersebut.
"Orang Jepang tak cukup bagus dalam mengekspresikan emosi mereka. Orang-orang yang bekerja di perusahaan tidak memiliki opini pribadi atau perasaan yang ditonjolkan," ujar Terumi kepada BBC.
Hiroki menambahkan, menangis memiliki manfaat positif bagi pekerja kantoran.
"Saya ingin warga Jepang menangis. Tidak hanya di rumah namun juga di kantor. Jika menangis di kantor (Anda pikir) bos Anda tidak akan menyentuh Anda. Ini adalah gambaran yang sangat negatif."
"Setelah Anda menangis dan membiarkan orang lain melihat kelemahan Anda, maka Anda bisa mudah bersikap bahkan merasa jauh lebih baik dan ini bagus bagi perusahaan. Ini dapat menciptakan lingkungan kerja dan pergaulan yang jauh lebih baik," urainya.
Langganan:
Postingan (Atom)